Sabtu, 28 Maret 2015

Menangislah ..................

Menangislah ................ 
Tangisan adalah pengingat nurani. Tangisan juga adalah tanda kasih sayang. Atau juga bentuk komunikasi yang hendak disampaikan.
Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad


Ayah mertua saya berpulang. Lalu kerabat dekat, tetangga dan sahabat. Ketika pulang dari pemakaman ayah mertua, saya sekeluarga naik ferry yang membawa kami pulang. Di atas ombak lautan itu, sekelompok pemusik lepas mencoba mengusir penat kami. Dan lagu pertama mereka membuat kami terkejut. Vokalis grup itu berkata, ''Lagu ini untuk siapa saja yang ayahandanya telah berpulang. Semoga tenang dan bahagia di surga.'' Lalu ia pun alunkan lagu ''Ayah'' dari Ebiet G. Ade. Saya dan istri tak kuasa menahan tangis karenanya.

Cengengkah kami? Tak bolehkah menangis untuk itu? Mengapa sulit sekali mengalirkan airmata?

Mari simak rangkaian kalimat waskita berikut ini.

Tak (mampu) menangis, alamat kerasnya hati.
Keras hati karena banyaknya dosa.
Banyak dosa karena banyaknya angan.
Banyak angan karena lupa mati.
Lupa mati karena cinta dunia.
Cinta dunia adalah awal semua kesalahan
.

Kalimat-kalimat di atas diambil dari kalimat singkat yang dikumpulkan dari berbagai tempat…semua dinisbatkan pada sang penerima wasiat, hamba Allah teramat taat, Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi pembawa rahmat. Ia mengingatkan manusia akan bahayanya kehilangan kemampuan untuk menangis.

Tangisan adalah pengingat nurani. Ayat suci menegur orang yang tak menangis ketika datang pada mereka peringatan: “Apakah dari pemberitaan ini kalian terheran-heran? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis” (QS. Al-Najm [53]:59-60); “…apabila dibacakan ayat-ayat Ar-Rahman kepada mereka, maka mereka tersungkur dalam sujud dan tangisan.” (QS. Maryam [19]:58).

Tangisan juga adalah tanda kasih sayang. Emosi terdalam yang disuarakan batin manusia. Ia juga adalah puncak kearifan. Ketika cinta sejati bukanlah memiliki melainkan melepaskan. Ketika kebahagiaan tertinggi terletak pada penantian, ketika perpisahan mengantarkan pada janji perjumpaan kekasih hati yang dirindukan.

Bagi bayi, tangisan adalah bentuk komunikasi yang disampaikan. Ia mewakili jutaan kata dan makna. Bahkan, tangisan adalah suara fitriah. Naluri awal yang menyertai manusia. Bila bayi lahir dan tak menangis, justru muncul segudang tanya. Bayi yang sehat adalah bayi yang menangis.

Entah sejak kapan, tangisan itu dikekang. Makin dewasa seseorang, makin ia membutuhkan alasan untuk menangis. Air mata tak boleh turun sembarangan. Cengeng, melankolis…dan berbagai kata yang menahan tetes itu turun membasahi pipi. Pernah diadakan sebuah penelitian akan dua gambar yang sama persis: gambar orang yang menangis. Tapi pada gambar kedua, teknik edit gambar menghilangkan tetesan dan butir air itu. Menyisakan wajah polos tanpa tangisan. Apa yang terjadi? Responden sepakat wajah dengan tangisan tampak lebih sedih, dan wajah tanpa tangisan bagai sorot tanpa emosi. Lurus, seperti orang yang merenung, atau kebingungan.

Tangisan karenanya adalah suara nurani. Pengingat batin dari riuh rendah alam luaran. Menangislah, sudah terlalu lama air mata itu menunggu untuk dialirkan. Kata Charles Dickens dalam Great Expectations, “Heaven knows we need never be ashamed of our tears, for they are rain upon the blinding dust of earth, overlying our hard hearts. Saya menerjemahkannya: Jangan malu. Langit pun tahu. Menangislah. Ia hujan untuk debu-debu yang membutakan bumi ini, yang menutupi kerasnya hati ini.

Tangisan juga punya kemampuan menyembuhkan. Sejenis terapi yang disarankan. Frey dan Blysma (2011) melakukan penelitian tentang dampak dan manfaat menangis untuk kesehatan: baik yang disertai emosi maupun yang bukan (seperti ketika mengiris bawang, misalnya). Yang menarik, ketidakmampuan menangis ternyata erat juga dengan gangguan psikologis. Memang ada beberapa penyakit fisik yang membuat mata tidak bisa memproduksi tangisan. Para pasien dengan sindroma Sjogren misalnya memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan mereka. Vingerhoets Ad (2013) menulis buku “Why only Human Weeps: Unravelling the Mysteries of Tears.” Baginya, menarik mengapa Tuhan hanya menitipkan tangisan pada manusia, dan tidak pada makhluk lainnya di seluruh semesta. Dengan fakta itu, masihkah kita akan melarang orang lain menangis? That is what makes us us, humans. Justru tangisan satu di antara yang membuat kita apa adanya, manusia yang diistimewakan dari makhluk yang lainnya. Larangan menangis adalah larangan yang mencederai dan menistakan kehormatan penciptaan manusia.

Saya teringat tangisan manakala sebulan terakhir ini dirundung berbagai kabar duka. Kerabat, sahabat dan handai taulan, satu persatu dipanggil Tuhan. Giliran saya pun satu saat akan tiba. Saudara, dan semua yang saudara kenal. Nama kita akan diedarkan dalam laman-laman media sosial. Beredar dari satu grup percakapan ke grup percakapan yang lain. Iringan doa kini diwakili oleh jaring-jaring komunikasi over the top. Selama satu dua hari, nama kita diingat. Setelah itu…business as usual. Ketidakhadiran secara lahiriah, ungkap belasungkawa yang diwakili oleh kemudahan teknologi komunikasi telah merampas hak untuk menangis itu. Hak untuk mengalirkan duka dalam linangan air mata. Sebuah paham agama bahkan melarang menangisi yang telah berpulang. Katanya, mayit disiksa karena tangisan orang yang kehilangan. Jadi, kapan kita boleh menangis saudaraku? Adalah duka dan ujian seberat ditinggal para kekasih dan teladan? Para penopang hidup dan kebahagiaan?

Lalu, apa jadinya kita tanpa tangisan?  Makhluk-makhluk keras hati. Jangan-jangan, karena banyaknya dosa yang menggunung. Kekerasan hati itu akan membuat kita mati rasa. Kita kehilangan empati. Lihat bagaimana orang dengan mudah meluapkan emosi dan amarah. Beberapa orang begal dibakar massa, hidup-hidup. Benar, begal tidak dibenarkan. Tapi tidak pernah dibenarkan juga memperlakukan manusia seperti itu. Harian Jakarta Post menulis berita—yang dibaca ribuan orang di dan dari seluruh dunia: seorang begal yang dipukuli, kemudian dalam keadaan perih dan luka itu, orang menyiramkan bensin ke tubuhnya. Dibakarlah ia. Karena tubuhnya menggelinjang, bagai cacing kepanasan, massa lalu mengambil sebuah ban mobil kosong dari bengkel yang ada di sekitaran dan memasukkannya mengikat tubuh orang itu, hingga ia tak mudah lagi bergerak. Lalu ketika api mulai mereda, mereka siramkan bensin itu lebih banyak lagi. Berita itu muncul di halaman pertama surat kabar internasional di sebuah negeri yang terkenal karena keramahan penduduknya.

Kejahatan-kejahatan atas kemanusiaan itu kini ramai dipertontonkan. Interpol menengarai ada lebih dari empat puluh ribu akun twitter, facebook dan media sosial yang digunakan oleh ISIS untuk mempublikasikan aksi mereka. Orang masih memperdebatkan apakah hadis “barangsiapa menyerupai kaum ia termasuk kaum itu” berlaku menyeluruh atau hanya untuk perkara ibadah saja. Karena, baju koko yang menjadi ciri khas Muslim Nusantara menyerupai baju tradisional Tiongkok. Menara artinya tempat menyimpan api, persis seperti umat majusi yang meletakkan api mereka di tiang-tiang yang tinggi. Mungkin hadis itu masih ‘debatable’, tapi hadis berikut ini menurut saya cukup menyengat: “Barangsiapa yang ridha dengan perbuatan satu kaum, ia termasuk kaum itu.” (Ibn Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah dari Abu Ya’la).

Bila saudara ridha melihat begal itu dibakar, bahkan memaki dalam hati, “Rasakan akibatnya!” saudara termasuk kaum itu. Bila saudara tak tersentuh dengan pengungsi Syiah dari Sampang, penderitaan kelompok minoritas yang tak bisa beribadah, tangisan Muslim Bahrain, kehilangan para pengungsi Palestina…maka kita bagian dari yang menelantarkan mereka.

Bila penduduk Jawa Barat tak terusik provinsi mereka menempati urutan teratas aksi intoleransi dan kekerasan atas agama, bila mereka juga tak tergelitik bahwa Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi akses situs pornografi di kalangan pelajar…bila mereka tidak tergerak dengan itu semua, lalu membiarkan, rela dengan yang terjadi…maka mereka bagian dari kaum yang sama terkena dosanya. Di era kedekatan religius para pemimpin Jawa Barat, intoleransi dan kekerasan atas nama agama, serta akses pornografi mencuat ke permukaan.

Kita bisa jadi sangat tidak mempedulikan itu semua. Mungkin kita bukan rela. Kita hanya sekadar menganggapnya biasa. Apa bedanya? Mengapa itu terjadi? Karena pasokan informasi yang singgah ke benak kita. Dulu, kita hanya benar-benar memikirkan apa yang dekat dengan kita, apa yang penting, apa yang bermakna. Kini, dengan perkembangan sosial media, berita dari mana saja singgah di depan mata. Dan mata adalah jendela jiwa. Pikiran dan batin kita kini dijejali oleh begitu banyak berita: kebanyakan buruk, kebanyakan tak sehat. Kebanyakan konflik dan beragam curhat. Dulu, orang menyimpan perasaan dalam-dalam, dan ia menangis tersungkur di hadapan Tuhan. Kini status dan media sosial menjadi sarana yang menggantikan. Mereka tidak lagi bermunajat. Mereka sampaikan keluh kesah mereka dalam status singkat.

Amarah dan kekesalan selalu berakumulasi. Ketidakpuasan akan Pemerintah akan membuka berbagai luka lama. Lalu kita menuliskan berbagai kekecewaan itu. Maka benak kita menyimpan dalam memorinya kumpulan ungkap kesal dan kecewa. Dulu mungkin hanya kekecewaan kerabat dekat saja yang kita tahu. Sekarang, siapa pun memendam dendam, menyimpan kecaman, dan mengumpat laknat bisa dibaca siapa saja. Dengan senang hati kita membuka mata dan pikiran kita lebar-lebar untuk menyimpannya. Kitalah storage cloud itu yang sesungguhnya.

Maka pelan-pelan, kita kehilangan empati. Kita kehilangan kepekaan melihat nenek tua dihukum karena tujuh butir buah coklat atau batang jati. Kita dengan mudah ikut-ikutan menertawakan kesalahan orang. Kita tanpa kesulitan menyebarkan berita fitnah, menggugat yang lain salah, menuduh mereka sesat, bahaya, kafir dan sebagainya. Perlahan tapi pasti kita kehilangan simpati. Kita kehilangan tangisan itu. Ia yang membuat kita benar-benar manusia Ingatlah, kapan terakhir kali berurai airmata? Haruskah sebuah kehilangan besar baru memaksa kita? Bahkan demikian, di tengah kepulangan pun, terkadang kita dilarang untuk menangis. Jangan siksa almarhum dengan tangisan. Lalu kapan, kapan saudara, tangisan itu diperkenankan?

Itulah mengapa dalam sebuah mazhab Islam, tangisan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penghayatan keberagamaan. Sejarah para teladan suci Kaum Muslimin menyajikan kisah duka bertabuh hikmah tak terhingga. Ada saat ketika Nabi Saw dilempari batu, dihujani sampah, ditaburkan debu-debu kotor ke paras sucinya. Lalu Fathimah kecil yang membersihkan kotoran itu dan mendatangi orang-orang yang melakukannya dengan keberanian. Ada kisah Sumayyah yang mempertahankan keimanan. Ada teriakan Bilal sebelum Nabi Saw membebaskannya. Ada penderitaan keluarga Rasulullah Saw dibuang, dikucilkan, diisolasi tiga tahun lamanya. Ada kesedihan Nabi Saw akan kehilangan Sayyidah Khadijah, Abu Thalib, Sayyid Ibrahim, dan Sayyidina Hamzah. Ada kisah duka Fathimah yang tak berbicara dengan khalifah hingga akhir hayatnya. Ada Ali yang dibantai di mihrab shalatnya. Ada Al-Hasan yang dilempari anak panah. Dan ada tragedi Karbala Al-Husain yang menyayat perasaan dan darah.

Kisah-kisah itu bukan saja diperlukan, ia makanan ruh yang terlupakan. Ia pengingat agar empati tak pernah hilang dari kesadaran. Ia pelajaran agar seorang muslim tetap peka dengan penderitaan. Ajaib, pada saat yang sama, kisah-kisah itu juga yang akan menguatkan. Bila kita menderita, mereka jauh lebih menderita. Bila kita ditinggal seorang yang kita sayangi, mereka pun pernah mengalaminya, bahkan jauh lebih berat dari kita. Maka tangisan kehilangan kita berubah menjadi tangisan harapan. Tangisan duka kita berbalutkan tangisan kerinduan. Siapa pun yang berpulang, ia kembali ke pangkuan Mahakasih Mahasayang. Siapa saja yang sendirian, ia ditemani sebaik-baiknya kawan. Cerita para teladan suci itu menjadi pengingat, kita tidak sendirian. Kita tidak pernah benar-benar sendirian. Karena kasih sayang dan keadilanNya, Sang Mahakasih Mahaadil menghadirkan para pangeran dan putri teladan itu untuk menemani perjalanan.

Dan memang demikianlah Al-Quran dengan indah mengisahkan. Dalam Surat Al-Najm, dikesankan ada kekuasaan Allah Ta’ala yang bertentangan: “Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu); dan bahwasannya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis; dan bahwasannya Dialah yang mematikan dan menghidupkan…” (ayat 42-44). Allah Ta’ala yang membuat kita tertawa, Dia juga yang membuat kita menangis. Tawa dan tangisan, bertolak belakang bukan? Allah Ta’ala yang mematikan, Dia juga yang menghidupkan. Hidup dan kematian, berlawanan, benar demikian?

Tetapi bila kita telusuri dan membaca lanjutan ayat yang kemudian…kita akan temukan Allah Ta’ala dengan indah berfirman…”Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.” (QS. Al-Najm [53]:48) Ternyata, Tuhan tidak pernah memiskinkan. Bila segala sesuatu berlawanan, mestinya akhir ayat itu “memiskinkan” atau membuat fakir. Ternyata tidak. Kita tidak pernah dimiskinkan Tuhan. Karena di hadapan Tuhan kita akan selalu fakir. Kita akan selalu membutuhkan. Tapi bila kita merasa miskin, berkekurangan, itu bukan dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memiskinkan. Dia memberikan kekayaan dan kecukupan. Ternyata, kedua kata itu tidak harus berlawanan.

Maka kita temukan bahwa kematian pada hakikatnya adalah kehidupan (yang sesungguhnya). Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Kalian semua (yang hidup) itu tertidur, dan ketika kalian mati, kalian terbangun.” Kematian adalah pintu menuju gerbang kehidupan yang abadi. Orang yang berpulang, justru orang yang telah menempuh kehidupan yang sesungguhnya.

Demikian pula dengan tangisan. Pada akhirnya kita tak pernah dapat memisahkan duka dan cinta itu. Dalam tangisan ada juga senyum kebahagiaan. Ketika Sayyidah Fathimah sa hendak berpulang, ia sampaikan pada suaminya: “Aku bahagia sebentar lagi aku akan bertemu dengan ayahku Rasulullah Saw…tapi aku juga berduka berpisah denganmu.” Ali, suaminya yang berduka itu tak pernah mencelup janggutnya dengan warna hitam. Tigapuluh tahun setelah wafat Rasulullah Saw dan Sayyidah Fathimah sa, orang bertanya tentang itu. Imam Ali menjawab, “Menghias janggut adalah hiasan. Tidak tahukah engkau, aku (masih juga) sedang berduka.” Ia juga yang diriwayatkan berkata, “Aku bahagia karena dukaku akan berakhir segera. Tapi aku juga bersedih, karena waktuku berpisah denganmu telah tiba.”

Kaum Muslimin sepakat bahwa di akhir zaman nanti akan hadir sosok yang menyelamatkan umat manusia. Yang mengembalikan ajaran yang asli, nilai-nilai yang ilahi. Islam mengajarkan tentang penantian akan Al-Mahdi. Mazhab-mazhab dalam Islam berbeda pendapat tentangnya. Tapi semua sepakat ia akan hadir satu saat nanti. Ada yang menyebutkan sudah lahir, ada pula yang belum. Tak kurang beberapa di antara yang salah memahami, bahkan sangat berani mengklaim diri. Google saja. Kita akan temukan rujukan-rujukan yang sangat kuat tentangnya. Bahkan dewan ulama Saudi, Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berkedudukan di Makkah mengeluarkan fatwa tertanggal 11 Oktober 1976/ 23 Syawal 1396 H) yang berbunyi: Para penghafal hadis dan ulama-ulama hadis telah mengesahkan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Al-Mahdi sebagai sahih dan hasan. Kebanyakan hadis ini (sampai pada derajat) mutawatir. Para ulama juga meyakini dan menyatakan kewajiban untuk mempercayai Al-Mahdi, dan merupakan satu dari kepercayaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Hanya yang jahil dan ahli bidah yang akan menafikannya.”

Khusus berkenaan dengan itu, para pengikut Ahlul Bait meyakini bahwa Al-Mahdi dijanjikan Allah Ta’ala akan dihadirkan pada hari Jumat. Maka setiap hari Jumat, mereka menyambutnya dengan sukacita dan duka pada saat yang sama. Jumat adalah hari raya dalam seminggu. Hari sukacita. Hari yang dijanjikan. Hari penuh ibadah dan doa. Tapi pada saat yang sama, bila Jumat sudah tiba, dan Al-Mahdi yang ditunggu belum tiba, penantian mereka bertambah seminggu setelahnya. Maka mereka akan berkata, “Sudah Jumat lagi…dan kau masih juga tak hadir di sini.” Suka, pada saat yang sama duka. Bahagia, pada saat yang sama rindu menggelora.

Begitulah sepertinya seorang harus menjalani hidupnya. Dalam bahasa Ali bin Abi Thalib kw, “Ciri orang beriman itu…(di antaranya) wajah mereka ceria, tapi hati mereka menyimpan duka.” Kita tetap menampakkan senyum bahagia, tapi ada duka yang hanya kita panjatkan pada Tuhan Pemilik Segala. Alirkan tangisan itu untuk dan pada Dia.

Saya masih ingat ketika kecil, sekitar kelas VI SD, saya berkelahi. Saya pulang ke rumah menangis. Ayah saya berdiri di teras rumah. Ia berkata singkat saja: “Kau boleh berkelahi. Tapi jangan pulang menangis.” Toh, di puisinya yang ia tuliskan untuk kami, anak-anaknya, ia berkata: “Ku tak ingin kau menangis// karena patah, putus asa dan pesimis//tapi basahi sajdahmu dengan airmata.”

Tangisan karenanya bukanlah ungkap cengeng atau kelemahan. Ia justru kekuatan. Ia perasaan yang tak mampu diungkap kata-kata. Ia jeritan terdalam batin manusia. Menangislah. Biarkan ia membasahi jiwamu. Menangislah. Biarkan airmata kerinduan itu menyejukkan jiwa-jiwa yang kering itu.

Menangislah, tanpa perlu sebab untuk itu. Dosa-dosamu sudah cukup jadi pemicu. Bila tak jua linang itu muncul di pelupuk, kenanglah orang-orang terdekat yang tak lagi di sisimu. Rindukan mereka. Cintai mereka. Dan alirkan air mata itu.

Menangislah, ros matutinum ros serotinum. Bahkan tetes embun hadir di awal dan ujung hari.

Menangislah. Dan jadilah manusia seutuhnya itu.

Tidak ada komentar: